Namaku Hyu. Mereka menyebutku mesin pembunuh yang tak mengenal kasihan. Aku tidak pernah membiarkan makananku hidup lebih dari satu tarikan napas. Kubuka rahangku lebar-lebar, lalu kuhujam bagian terlemah mereka tanpa meleset. Aku bisa merasakan jiwa mereka dengan cepat melayang keluar dari tubuh lunglai itu, lalu kutelan nyaris tanpa kukunyah. Ya, memang mereka menyebutkan mesin pembunuh yang tak mengenal kasihan. Ibarat kotoran hidung, aku tak pernah bisa lepas dari julukan itu. Tapi tidak banyak yang tahu aku jauh lebih penakut daripada siput air dan aku sering kesepian.
Ketika aku masih bayi dan ukuranku hanya sebesar dua ekor anjing laut dewasa, mamaku berkata, “Kau akan tumbuh besar, Nak. Gigimu akan menghujam dan tajam, lebih kuat dari batu karang. Kau akan mampu mencium wangi darah yang ada di belahan timur matahari sana walaupun tertutup kapal karam sekalipun, dan kalau kau gunakan sirip dan ekormu dengan baik, kau bisa menyusuri hutan laut ini lebih cepat dari badai tsunami yang lalu”. Begitu kata Mamaku. Aku berharap Mamaku tidak menceritakan itu semua padaku. Kala itu aku bahkan tidak tahu karang itu apa, dan mengapa kakiku bentuknya menyatu dan tidak berjumlah banyak seperti Kani Si Kepiting, makhluk apakah kapal karam itu, dan siapakah badai tsunami, yang terdengar begitu memukau bagiku. Namun karena hampir setiap kali aku hendak tidur Mamaku menceritakannya, aku pun mulai memperhatikan tubuhku, gigiku, ekorku, semua bagian tubuhku yang sanggup kulihat. Kalau aku tidak bisa melihatnya, seperti gigiku sendiri, aku akan mencoba untuk merasakan perbedaan tubuhku antara saat ini dan nanti dengan menyentuh benda lain, menggigit ekor Mamaku, misalnya. Dan ketika Kani si Kepiting kebetulan melihatku berputar-putar sendiri untuk melihat perkembangan ekorku, ia akan tergelak mentertawakanku, sehingga aku malu. Dan bukan hanya dia yang seperti itu. Aku pun bingung dan mulai tidak percaya diri. Aku mulai bertanya-tanya apakah Mamaku mengatakan hal yang benar. Kalau memang aku semakin lama semakin besar, dengan gigi tajam dan penciumanku hebat, bukankah makhluk macam Kani si Kepiting dan Uli si Udang mustinya takut padaku?
Selama beberapa waktu, yang menurutku sebentar sekali, aku mengikuti mamaku ke mana-mana. Kadang aku hanya melihat gelap dan terang kebiruan, kadang ada juga warna merah, hijau, ungu, dan pernah sekali waktu aku melihat dunia hanya tampak putih saja dan rasanya lebih dingin. Kalau aku menyelam sampai jauh sekali ke bawah, aku akan melewati berbagai bukit dan lembah yang dihuni berbagai makhluk air berwarna-warni. Bentuknya pun macam-macam, ada yang diam tidak ke mana-mana, permukaannya lebar dan ketika aku coba gigit, rasanya keras sekali. Bagian atasnya ditumbuhi Kajora, aku namakan begitu, makhluk berwarna cokelat putih yang berkaki panjang-panjang dan mengarah ke atas seperti mahkota, di dalamnya seringkali ada ikan kecil berwarna merah, putih dan biru yang keluar masuk. Aku tidak tahu namanya. Lalu ada juga makhluk yang kepalanya jauh lebih besar dari badannya dan tidak punya mulut, hanya kaki dan selaput, melayang-layang dan berkedut-kedut, seringkali bercahaya dan berwarna-warni, indah sekali.
Apakah kau pernah merasakan lapar yang amat sangat? Aku sering. Ketika itu terjadi, ada rasa kosong di perutku dan biasanya mataku semakin tajam, hidungku semakin kembang kempis, dan aku bisa melihat dan mencium jauuuh sekali. Aku bisa mengetahui apakah ada makanan dari kejauhan dan biasanya makanan itu tidak bisa bergerak ke mana-mana lagi ketika aku melesat datang untuk melahapnya. Ia seolah sudah menungguku sejak lama di sana. Suatu kali perutku sampai berbunyi keras dan dari jarak beberapa gelombang, aku bisa mencium wanginya ikan buntal berwarna kuning berbintik cokelat. Aku meluncur dalam diam, biarpun air liurku mulai memenuhi mulutku, nyaris tak tertampung. Ketika tidak ada lagi cahaya, kuhentakkan ekorku sekuat tenaga dan kulahap ia. Tanpa kukunyah. Cukup untuk mengganjal perutku sampai waktunya tidur nanti.
Menurut Mamaku, aku melesat jauh lebih cepat darinya. Itu terjadi karena dua hal. Pertama, adalah ketika aku sedang gembira dan ingin bermain. Kedua, adalah ketika aku sedang lapar. Sebenarnya ada yang ketiga, yaitu ketika aku sedang ketakutan. Tapi Mamaku bilang tidak ada yang perlu kutakutkan di dunia biru ini. Selama aku tetap berada di dalamnya. Kalau aku sudah cukup besar, aku mungkin boleh berenang lebih tinggi, dan sesekali muncul ke permukaan air. Dari kedalaman aku sering melihat ada warna lain di atas sana. Beberapa kali aku melihat puluhan makhluk dengan bentuk yang belum pernah kulihat sebelumnya, bergerak cepat ke sana kemari. Ketika makhluk itu lewat, maka duniaku akan bergetar, bunyinya memekakkan telinga, dan buih-buih akan muncul banyak tak terkira. Membuatku yang di bawah sana batuk-batuk. Aku tak suka mereka. Tapi aku penasaran seperti apa rasanya melongokkan kepalaku ke atas sana. Aku tidak bisa mengerti mengapa di usiaku yang sekarang ini Mamaku masih juga belum memperbolehkanku muncul hingga ke permukaan. Bukankah gigiku sudah cukup tajam hingga bisa menghancurkan batu-batu di dasar lembah? Bukankah aku sudah pandai meluncur, meliukkan ekor dan siripku mengikuti gelombang dan cahaya? Aku rasa dua hal itu sudah cukup membuatku mampu menghindari bahaya apa pun yang mungkin kuhadapi nanti. Jadi kuputuskan saja, besok, aku akan melakukan hal yang belum pernah kulakukan seumur hidupku. Melompat keluar dari air.
#masihlatihan#teruslatihan
Recent Comments